“Perempuan kok naik
gunung, kelakuan kayak anak laki-laki saja”
Sebagian orang
mempunyai stigma negatif tentang pendaki perempuan seperti yang diucapkan seorang
kenalan saya itu. Tak jarang bila kaum awam apabila melihat perempuan yang
ingin mendaki gunung pasti dibenak nya berpikir bahwa perempuan yang naik
gunung adalah perempuan yang tomboy, perempuan dekil yang jarang mandi, perempuan
yang tak mau kalah hebatnya dengan laki-laki. Sejatinya setiap prempuan
memiliki alasan berbeda untuk mendaki gunung, begitu pun juga saya dan
teman-teman saya.
Kala itu di Gunung Merbabu,
saya mendaki Gunung Merbabu hingga ke puncak dengan alasan mengalahkan rasa
trauma saya terhadap ketinggian. Hal yang paling diuji oleh alam terhadap saya
ketika harus mengalahkan rasa takut. Melewati Jembatan Setan yang cukup membuat
saya menelan ludah dan mengokohkan pijakan. Hingga saya berhasil menggapai
puncak saya tercengang melihat begitu banyak pendaki perempuan lainnya yang
juga menggapai puncak Gunung Merbabu. Dalam hati saya senang, bahwa saya
sebagai perempuan tidak sendirian, itu yang membuat saya semakin percaya diri
sebagai seorang perempuan juga harus berjuang.
Pendaki perempuan
adalah tomboy? Saya rasa itu presepsi orang awam saja. Ketika di Gunung Merapi,
saya mendaki bersama adik-adik tingkat di bangku kuliah. Entah bagaimana rasa
naluriah saya sebagai seorang perempuan yang lebih tua dari mereka muncul,
seperti rasa khawatir seorang ibu kepada anaknya, seperti seorang kakak dengan rasa
ingin melindungi adik-adiknya. Memasak untuk makan malam dan makan pagi, merapihkan
dan membersihkan tenda, menasehati yang lebih muda apabila mengucapkan kata
yang tak pantas saat mendaki gunung, memarahi mereka apabila tak patuh aturan
mendaki. Sabar saat menerjang hujan badai, berusaha melindungi meskipun merasa
kelelahan. Banyak orang mungkin salah kaprah dalam mengartikan feminine, yang
dilihatnya adalah caranya berpakaian dan berdandan saja, padahal yang seperti
saya lakukan itu adalah sifat kewanitaan. Feminine itu masih ada dalam jiwa
pendaki perempuan.
Bicara tentang feminine,
semakin berkembangnya zaman, semakin maju pula pemikiran seorang perempuan. Banyak
perempuan yang menuntut hak perempuan atau disebut feminis. Seperti R.A Kartini
seorang pahlawan Indonesia yang menggagas pendidikan untuk perempuan Jawa
sebagai bentuk pemenuhan hak perempuan. Begitu juga dengan pendaki perempuan
yang menuntut hak yang dimiliki perempuan. Sebagian besar perempuan mendapatkan
diskriminasi dengan sandang perempuan adalah makhluk yang lemah, manja dan
materialistis. Kodratnya memang laki-laki dan perempuan memiliki kekuatan yang
berbeda, ini yang menuntut perempuan untuk mendaki gunung, bukan untuk
mengalahkan laki-laki namun menuntut hal yang diskriminatif tersebut. Mendaki gunung
menjadi bukti bahwa perempuan tidak selemah yang dipikirkan laki-laki. Perempuan
adalah kaum yang materialistis? Tidur hanya beralaskan matras dan sleeping bag di tengah alam terbuka saja
mau. Ketika dikata dekil tak ber make up
dan jarang mandi, namanya saja juga di gunung, untuk apa memakai make up tebal yang ujung-ujungnya juga
luntur karena keringat dan panas matahari atau hujan lebat, jarang mandi bila
di gunung saja. Wajar tak ada toilet dengan kloset apik di gunung. Bukan kaum
perempuan saja yang begini, laki-laki juga. Ketika di gunung perempuan juga
tetap melakukan bersih diri karena tetaplah naluri itu ada.
Ketika mendaki gunung
tertentu para pendaki akan menjumpai edelweiss dengan kecantikannya yang abadi,
namun tak banyak orang melihat bahwa dandelion yang bersembunyi di balik
rerumputan juga tak kalah indah. Seperti itu lah perempuan yang suka mendaki
gunung, orang-orang tertentu saja yang dapat melihat kecantikan dan
keistimewaan perempuan yang berbeda dengan yang lainnya.
Pendakian Gunung Merapi via New Selo |
Komentar
Posting Komentar